Country | |
Publisher | |
ISBN | 9786235635712 |
Format | PaperBack |
Language | Bahasa |
Year of Publication | 2023 |
Bib. Info | xx, 284p. ; 24cm. |
Categories | Sociology/Culture Studies |
Product Weight | 400 gms. |
Shipping Charges(USD) |
Dalam tradisi ngenger, terjadi benturan kebudayaan. Budaya priyayi yang memiliki strata sosial tinggi berhadapan dengan masyarakat dengan strata sosial rendah. Sebuah proses yang tidak mudah bagi pelaku ngenger: mereka dihadapkan pada tekanan psikologis yang berat. Mereka harus jauh dari keluarga, bertahan dalam tekanan pekerjaan yang berat dan melelahkan, serta tekanan psikologis mengingat asalnya dari golongan tidak mampu. Di sisi lain, anak-anak yang ngenger tersebut bertemu dengan banyak hal yang baru, baik dalam konteks geografis, sosiologis, maupun budaya. Mereka bertemu dengan keluarga yang baru mereka kenal, cara hidup, dan bermasyarakat yang baru, bahkan juga keadaan lingkungan yang baru. Mereka diharuskan beradaptasi dan bersosialisasi serta membiasakan diri dengan hal-hal yang baru tersebut. Munculnya culture shock atau gegar budaya, yaitu situasi seseorang tertekan, takut, cemas, maupun khawatir karena bertemu dengan sebuah kebudayaan atau situasi yang baru, Budaya feodal "etnosentrisme" masyarakat di tahun 1960-an hingga 1980-an menambah kompleksitas dalam interaksi sosial. Dengan berbagai tambahan tulisan, buku ini mencoba ingin mengungkap beberapa hal. Pertama, anak-anak yang ngenger di Ngawi berasal dari Ponorogo tersebut bertahun-tahun ikut orang, tentu ada hal-hal yang membuat mereka merasa nyaman di sana. Tentu ada cara-cara yang mereka lakukan untuk mengatasi culture shock dan etnosentrisme dari lingkungan sekitar. Kedua, mengungkap hambatan komunikasi antarbudaya yang dilakukan oleh anak-anak dalam tradisi ngenger di Ngawi. Kemudian, akan diungkap pula bagaimana mereka mengatasi hambatan-hambatan komunikasi antarbudaya tersebut. Ketiga, proses penanaman ideologi Muhammadiyah atau strategi pengaderan yang dilakukan kepada anak-anak yang selama ini mengikuti tradisi ngenger di Ngawi. Hal ini penting diungkap mengingat di kemudian hari terjadi perubahan ideologi di kalangan anak-anak tersebut. Keempat, terjadinya transformasi ideologi. Anak-anak ngenger semula berideologi NU dan abangan kemudian berpindah menjadi Muhammadiyah. Dalam konteks komunikasi antarbudaya, perubahan sikap, perilaku, maupun pandangan ideologi sangat dipengaruhi oleh budaya dan tradisi yang dialaminya, di mana di dalamnya ditemukan sesuatu yang baru, sehingga membuatnya lebih nyaman atau menemukan kecocokan dengan sesuatu yang baru tersebut. Buku ini merupakan hasil penelitian lima tahun penulis di Ngawi dan Ponorogo. Proses penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma fenomenologi. Strategi penelitian dilakukan secara empiris, yang menyelidiki fenomena dalam kehidupan nyata dengan memanfaatkan berbagai sumber bukti, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan.