Perempuan, pada dasarnya, memiliki kemampuan dalam menampilkan subjektivitas dan menyuarakan seksualitas dalam bahasa mereka sesuai dengan sistem norma dan ajaran yang sebelumnya telah membentuknya sebagai subjek dalam masyarakat. Mereka memiliki kemampuan untuk mendobrak konstruksi bahasa, konstruksi politik, dan konstruksi budaya yang sebelumnya meletakkan perempuan sebagai subjek subordinat dalam urusan seksualitas dengan mengungkapkan pikiran melalui suara (bahasa) mengenai seksualitas dari sudut pandang subjek perempuan. Upaya semacam itulah yang dilakukan oleh Ayu Utami melalui dwilogi novelnya, Saman dan Larung. Buku ini mengkaji bagaimana Ayu mempersoalkan problematika seksualitas dalam dua karyanya tersebut menggunakan pembacaan psikoanalisis Lacanian. Melalui Saman dan Larung, Ayu dianggap berhasil mendobrak tradisi sastra konvensional yang menempatkan perempuan sebagai kelompok subordinat. Dari sana, pertanyaan utama yang diusung buku ini lahir: berhasilkah upaya tersebut? Atau justru apakah sosok perempuan masih mengalami subordinasi, khususnya dalam urusan seksualitas?