Country | |
Publisher | |
ISBN | 9786232616097 |
Format | PaperBack |
Language | Bahasa |
Year of Publication | 2023 |
Bib. Info | xiv, 78p. ; 23cm. |
Categories | Religion - Islam |
Product Weight | 200 gms. |
Shipping Charges(USD) |
Apabila salah seorang dari anggota masyarakat pada suatu saat meninggal dunia, maka sejak itu pula timbullah akibat hukum antara orang yang meninggal tersebut dengan orang yang ditinggalkannya, Semua hak dan kewajiban dalam lapangan hukum serta kekuasaan terhadap harta kekayaan akan beralih kepada orang yang berhak menerimanya. Orang yang berhak menerima peralihan tersebut dalam hukum perdata disebut dengan ahli waris, yaitu “mereka yang menggantikan kedudukan hukum dari orang yang meninggal dalam kedudukan harta kekayaan. Mereka adalah penerima hak dengan alas hak umum atau khusus”. Sedangkan dalam hukum Islam orang yang berhak menerima peralihan itu disebut waris, yakni “orang yang akan mewarisi harta peninggalan si muwarrits lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mempusakai, seperti adanya ikatan perkawinan hubungan darah dan hubungan hak perwalian dengan si muwarrits”. Adapun yang menjadi peralihan antara orang yang meninggal dunia kepada orang yang ditinggalkannya adalah semua hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat berwujud. Menurut hukum perdata barat yang termuat dalam Burgerlijk Wetboek adalah “seluruh hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang”, Berbeda halnya dengan hukum Islam, di mana pada hakekatnya yang beralih dari orang yang meninggal dunia kepada orang yang ditinggalkannya adalah benda tersebut dalam keadaan bersih, artinya setelah dikurangi biaya-biaya yang berkaitan dengan orang yang meninggalkan warisan tersebut. Harta peninggalan ini dalam hukum Islam disebut dengan mauruts, yaitu “harta benda yang ditinggalkan si mati yang bakal dipusakai oleh para ahli waris setelah diambil untuk biaya perawatan, melunasi hutang-hutang dan melaksanakan wasiat”. Peraturan-peraturan yang mengatur perpindahan harta kekayaan dari seorang yang meninggal dunia kepada seorang atau lebih dinamakan “hukum waris”. Di Indonesia penyelesaian harta warisan ini belum terdapat suatu kodifikasi dan univikasi hukum waris yang berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia, seperti halnya Undang-Undang perkawinan nomor I tahun 1974. Hal ini disebabkan hukum waris di Indonesia masih bersifat pluralisme terutama dipengaruhi oleh hukum adat. Oleh karena itu di Indonesia hukum waris yang berlaku dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1. Hukum Waris Barat, yaitu hukum waris yang tertuang di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2. Hukum Waris Islam, yaitu merupakan ketentuan yang tercantum di dalam Al Qur’an dan Hadits. 3. Hukum Waris Adat, yaitu hukum waris yang berlaku di suatu daerah dimana masalah waris itu terbuka. Jadi, dalam penyelesaian warisan di Indonesia faktor etnis sangat mempengaruhi berlakunya aneka hukum adat yang tentunya dalam masalah waris pun mempunyai corak sen- diri-sendiri sesuai dengan daerah dan sistem kekerabatan yang dianutnya.